Selasa, 12 April 2011

quo vadis perlindungan konsumen perbankan ( koran tempo, 12 April 2011)

“Quo vadis” perlindungan konsumen perbankan

Oleh Sudaryatmo

Ironis. Ditengah komunitas gerakan konsumen se-dunia belum lama merayakan hari hak konsumen dunia pada 15 Maret 2011, konsumen perbankan Indonesia justru disuguhi pelanggaran hak-hak konsumen perbankan  secara telanjang dalam bentuk meninggalnya konsumen diduga karena tekanan psykis debt collector dan kasus pembobolan dana nasabah oleh karyawan bank, keduanya terjadi pada bank asing Citibank. Lebih ironis lagi, tema hari hak konsumen dunia tahun ini adalah “ consumer for fair financial services ‘.

Apa yang salah dengan system perbankan di Indonesia sehingga konsumen perbankan dinistakan, mereka membayar tetapi diperlakukan semena-mena oleh industri perbankan, dimana peran Bank Indonesia sebagai regulator yang seharusnya juga mengayomi konsumen ?

Dalam catatan Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) statatitik pengaduan konsumen dalam lima tahun terakhir ini selalu masuk tiga besar komoditas yang paling bandyak dikeluhkan konsumen. Pada 2010 dari total pengaduan konsumen sebanyak 590 kasus, pengaduan jasa keuangan menduduki ranking pertama, ada 111 pengaduan (18,81 persen). Terdiri dari aduan konsumen perbankan 81 kasus, aduan konsumen leasing 22 kasus dan aduan konsumen asuransi 8 kasus.

Aduan konsumen perbankan didominasi masalah kartu kredit. Beragam masalah dikeluhkan pengguna kartu kredit, pada umumnya menyangkut kesulitan konsumen melaksanakan kewajiban membayar tagihan. Persoalan ini menimbulkan masalah ikutan berupa penggunaan jasa penagihan pihak ketiga (debt collector ) dengan menggunakan cara-cara intimidasi, teror dan kekerasan. Masalah lain adalah data konsumen dimasukkan dalam negatif list Sistem Informasi Debitur (SID), sementara konsumen merasa tidak pernah diklarifikasi pihak bank dan nilai kewajiban konsumen secara nominal sangat kecil.

Dalam hal ada masalah dengan ketidaksanggupan pemegang kartu membayar kewajiban, sejauh mungkin penggunaan pihak ketiga oleh bank dihindari. Pertama, sepanjang konsumen akomodatif, ruang penyelesaian lebih terbuka ketika konsumen bisa berkomunikasi, berunding dengan pihak bank. Sedangkan ketika berhubungan dengan pihak ketiga, cenderung tanpa kompromi dan tidak mau tau kondisi yang dihadapi pemegang kartu.

Kedua,  penyelesaian melalui pihak ketiga juga kadang tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Seperti konsumen sudah melaksanakan pelunasan tagihan, tetapi tidak tercatat dalam administrasi bank, sehingga konsumen tetap dikenakan tagihan, bunga dan denda.

Ketika, kalau sampai menggunakan jasa pihak ketiga, pihak bank seharusnya dilarang memberi order pihak ketiga melalui sistem borongan dalam bentuk bank memberikan data nasabah yang bermasalah, kemudian oleh pihak ketiga ”dibeli” sejumlah nilai nominal tertentu, untuk selanjutnya memberi kewenangan kepada pihak ketiga melakukan penagihan kepada konsumen. Jasa penagihan dengan sistem borongan seperti ini cenderung menggunakan cara-cara yang melanggar etika dan hukum.

Belajar dari pengalaman banyak negara, iklim perlindungan konsumen yang baik selalu ditandai dua hal. Pertama, Adanya kebiasaan / tradisi konsumen untuk mengadu (complaint habbit ) terhadap praktik pelanggaran hak-hak konsumen, sekecil apapun pelanggaran hak konsumen tersebut. Pada  saat yang sama perlu ada kemudahan dan keragaman bagi konsumen ketika akan melakukan pengaduan baik kepada bank, regulator (BI), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) , Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Konsumen.

Kedua, menumbuhkan pengawasan independent oleh pihak ketiga. Selama ini industri perbanan diawasi oleh BI selaku regulator. Mekanisme ini tidak cukup, perlu ada pengawasan oleh phak ketiga yang mengawasi sekaligus industri perbankan dan BI selaku regulator, dalam bentuk survey-survey independen tentang berbagai produk perbankan yang terjadi di masyarakat. Peran  ini dapat dilakukan oleh lembaga konsumen , perguruan tinggi dan media massa.

Dari aspek ruglasi yang menjadi acuan dalam bisnis kartu kredit adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI). Disini ada dua masalah. Pertama, dalam proses pembuatan PBI perlu ada mekanisme konsultasi publik, tidak hanya kepada penerbit kartu kredit, tetapi juga kepada wakil pengguna kartu kredit, sehingga aturan yang ada juga mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen.

Kedua, dalam PBI ada sanksi administrasi dan sanksi financial bagi penerbit kartu kredit yang melakukan pelanggaran, tetapi Bank Indonesia (BI) tidak pernah mengumumkan kepada publik tentang sanksi yang telah dijatuhkan berikut nama-nama bank penerbit kartu  kredit yang mendapat sanksi, dengan alasan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Jadi publik tidak tahu apakah sanksi itu pernah dijatuhkan BI  atau tidak. Untuk bank yang memang sudah tidak layak dipercaya masyarakat mengapa  BI membela mati-matian dengan berlindung dibalik  kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.***( Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidup Gambrul... Leave comment, here. OK